Senin, 11 Juni 2012

Imam Ahmad Al Muhajir


Imam Ahmad Al-Muhajir

[Al-Imam Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]
Beliau adalah Al-Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau adalah seorang yang tinggi di dalam keutamaan, kebaikan, kemuliaan, akhlak dan budi pekertinya. Beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah.
Beliau berasal dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika beliau mencapai kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana hal-hal yang bersifat baik dan buruk.
Beliau di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika beliau mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, “Bersegeralah kalian lari kepada Allah…”
Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid’ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa.
Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Ustman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.
Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak-anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba’alawy), Bashri (kakek keluarga Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah orang-orang sunni, ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan sholeh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau).
Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu beliau melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, beliau lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.
Semenjak beliau menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman.
Masuknya beliau ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, “Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba’alawy, maka tidak ada kebaikan padanya.” Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Ba’alawy, sambil berkata, “Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta.”
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]



Sumber : http://alawiy.wordpress.com

11 komentar:

  1. Imam Asy-Syafi'i (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H/767 M - Fusthat, Mesir, 204 H/819 M)

    Imam ahmad bin isa almuhajir241 H / 260 H wafat pada tahun 345 H (924 M)

    BalasHapus
  2. 1) IMAM AHMAD MUHAJIR BUKAN PENGANUT SYIAH :

    LADUNI.ID - Dijelaskan dalam berbagai sumber, pendapat yang terpopuler, bahwa madzhab al-Imam al-Muhajir adalah Sunni Syafi’i. Namun sebagian kalangan menyebut beliau sebagai seorang Imamy, alias penganut Syi’ah yang mewajibkan untuk mengikuti Imam Dua Belas (Itsna ‘Asyariyah). Nama madzhab ini dinisbatkan kepada imam-imam dua belas (al-aimmah al-itsna ‘asyar) itu, yakni al-Hadi, al-Jawwad, al-‘Askari, al-Ridha, al-Kazhim, dan seterusnya sampai kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan Rasululullah.

    Sudah maklum, al-Imam al-Muhajir mengikuti madzhab keluarganya yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, yang menjadi pondasi madzhab Syafi’i. Demikian pula dari segi akidah, al-Imam al-Muhajir menjadi pengikut setia madzhab leluhurnya, di antaranya Imam al-Baqir dan Imam Zainal Abidin.

    Beliau mengikuti madzhab para imam yang tidak lain adalah sebagian leluhurnya itu, karena memang tidak ditemukan perbedaan atau pertentangan antara akidah para imam Ahlul Bait dengan akidah Ahlussunnah. Tentang tidak adanya perbedaan akidah itu, dijelaskan dalam kitab-kitab yang khusus membahasnya, di antaranya kitab al-Farqu baina al-Firaq karya al-Baghdadi. (Alwi bin Muhammad bin Ahmad Bilfaqih, Min A’qabi al-Budh’ah al-Muhammadiyah al-Thahirah, h. 138)

    Sebagai tamsil, dalam karya al-Imam al-Syafi’i, baik dalam prosa maupun syair-syair beliau, terkadang ditemukan “tasyayyu’ (loyalitas) moderat” kepada Ahlul Bait. Dan hal ini tidak mengeluarkan beliau dari kesunniannya.

    Dengan demikian, al-Imam al-Muhajir adalah penganut madzhab Syafi’i yang dalam pandangan beliau, itu adalah madzhab para leluhurnya.
    Al-‘Allamah Abu Bakar bin Syihab mengatakan:

    مَذْهَبِي مَذْهَبُ الوَصِيِّ أَبِي السِّبْطَيْنِ فَالحَقُّ دَائِرٌ حَيْثُ دَارَا
    وَبَنِيْهِ الأَئِمَّةِ العَلَوِيِّيْنَ الألِى حَوَّلُوْا العَتِيْمَ نَهَاراً

    Madzhabku adalah madzhab al-Washiyy Abu al-Sibthain (yakni Imam Ali bin Abi Thalib), dan kebenaran berputar ke mana ia berputar
    Dan (madzhabku adalah madzhab) keturunannya, para imam ‘Alawiyyin yang mengubah tanah tandus menjadi sungai.

    Di antara sejarawan yang menyebut bahwa al-Imam al-Muhajir adalah seorang imamy adalah Ibnu Ubaidillah al-Segaf dalam kitabnya Nasim Hajir dan Sayyid Shalih bin Ali al-Hamid dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip.

    Namun menurut Sayyid Alwi bin Muhammad Bilfaqih, pendapat dalam kedua kitab tersebut, juga dalam kitab-kitab lain yang menyebut bahwa al-Imam al-Muhajir adalah seorang imamy, tidak berdasarkan atas penjelasan ilmiah yang dapat diterima.

    Di antara ulama yang membantah pendapat mereka adalah Sayyid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab A-immat al-Bashar. Di antara bantahan yang dikemukakan adalah, bahwa madzhab Syi’ah Imamiyah baru ada setelah masa itu. Lalu bagaimana dikatakan beliau adalah seorang pengikut Syi’ah Imamiah, sedangkan aliran itu masih belum muncul?

    Sebaliknya, pakar sejarah menegaskan bahwa Imam Ahmad al-Muhajir adalah penganut madzhab Sunni Syafi’i. Bahkan, beliaulah yang memasukkan dan menyebarkan madzhab tersebut di Hadhramaut.

    Saat beliau tiba, daerah ini terbagi menjadi beberapa otoritas, yakni wilayah yang dikuasai kaum Ibadhiyah, Bani Ziyad, dan Ya’afirah. Namun otoritas yang paling berkuasa adalah madzhab Ibadhiyah. Namun dengan keilmuan dan keberaniannya, al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa berhasil menyebarkan madzhab Sunni Syafi’i di Hadhramaut. Madzhab Ibadhi hilang dari wilayah itu secara bertahap.

    BERSAMBUNG KE-2

    BalasHapus
  3. 2)
    Berkat al-Imam al-Muhajir dan murid-muridnya yang Sunni, penduduk Hadhramaut berubah menjadi penganut Madzhab Sunni Syafi’i. Sampai akhirnya, di ujung abad ketujuh hijriyah, madzhab Ibadhiyah benar-benar musnah dari bumi Hahdramaut, digantikan oleh madzhab Sunni.

    Sejarawan kontemporer berpendapat, sebelum kedatangan al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, tidak ada seorang ulama Ahlussunnah atau ulama Syafi’i di Hadhramaut. Karena itu, Imam Ahmad bin Isa, dalam penilaian mereka, bukan hanya penyebar madzhab Syafi’i . Lebih dari itu, sesuai pendapat mereka, al-Imam al-Muhajir lah yang pertama kali memasukkan dan menyebarkan madzhab tersebut di wilayah yang terletak di selatan Yaman ini.

    Sedang terkait tuduhan bahwa beliau penganut Imamiyah, terdapat beberapa penjelasan untuk menjawabnya. Pertama, mengikuti Ahlil Bait bukan berarti penganut Syiah, sebagaimana pengikut Ahlussunnah bukan berarti kaum yang membenci Ahlul Bait. Sudah maklum bahwa al-Imam al-Muhajir adalah orang yang sangat menjaga ajaran keluarga dan leluhurnya. Karena di dalam lingkungan keluarga itulah, ia mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Sedang leluhur beliau merupakan sebagian imam yang diyakini oleh kaum Syi’ah sebagai imam yang wajib mereka ikuti (Aimmah Itsna ‘Asyariyyah). Lalu, bila al-Muhajir mengikuti ajaran leluhurnya itu, apakah itu berarti beliau adalah penganut Imamiyah?

    Perhatikan statemen al-Imam al-Syafi’i, yang saat beliau hidup, juga dituduh sebagai penganut Syi’ah. Beliau dinilai sebagai Rafidhi karena kecintaannya kepada Ahlul bait. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam al-Intifa’ dan kitab lainnya, bahwa al-Imam al-Syafi’i menuturkan:
    إَنْ كَانَ رَفْضاً حُبُّ آلِ مُحَمَّدٍ
    فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلاَنِ أَنِّي رَافِضِي
    Jika mencintai keluarga Muhammad dianggap Rafidhi
    Biarkan jin dan manusia menyaksikan bahwa aku Rafidhi.

    Kaum Rafidhah adalah Syi’ah yang ekstrim, sedangkan al-Syafi’i sama sekali bukan termasuk mereka. Namun, kecintaan beliau kepada keluarga Nabi Muhammad membuat beliau mengeluarkan pernyataan itu. (Umar Abdullah al-Kamil, Menyingkap Hijab Kebenaran – Hubungan Ahlul Bait dan para Sahabat Nabi SAW, penerjemah Thohir Abdullah al-Kaff, h. 195-196)

    Seperti dijelaskan semula, mencintai keluarga Nabi, atau mengikuti sebagian imam yang oleh kaum Syi’ah diklaim sebagai Imam Dua Belas, bukan berarti mengindikasikan bahwa orang tersebut pengikut Syi’ah. Sebagaimana mencintai sahabat Abu Bakar, alias menjadi pengikut Ahlussunnah, bukan mengindikasikan bahwa orang tersebut membenci Ahlul Bait. Pemahaman seperti inilah yang harus disampaikan kepada pihak-pihak yang telah menuduh al-Imam al-Muhajir sebagai penganut Syi’ah Imamiyah.

    Al-Imam al-Syafi’i menjelaskan:
    إِذَا نَحْنُ فَضَّلْنَا عَلِيًّا فَإِنَّنَا
    رَوَافِضُ بِالتَّفْضِيْلِ عِنْدَ أَهْلِ الجَهْلِ
    وَفَضْلُ أَبِي بَكْرٍ إذاَ مَا ذَكَرْتُهُ
    رُمِيْتُ بَنَصْبٍ عِنْدَ ذِكْرِ لِلْفَضْلِ
    فَلا َزِلْتُ ذَارَفْضٍ وَنَصْبٍ كِلاَهُمَا
    بِحُبِّهِمَا حَتَّى أُوْسِدَ فِي الرَّمَلِ
    Apabila kami mengutamakan Ali, maka kami
    Adalah Rafidhah menurut orang-orang bodoh
    Apabila aku menyebut keutamaan Abu Bakar
    Aku dituduh memusuhi Ahlul Bait (nashibi) ketika menyebut keutamaannya
    Maka aku tetap dianggap Rafidhi dan Nashibi kedua-duanya
    Karena aku mencintai keduanya hingga aku berbaring di tanah.

    Analisa lain yang digunakan sebagai pembenaran bahwa al-Muhajir pada mulanya adalah penganut Syi’ah, adalah fakta saat beliau baru pertama kali datang ke Hadhramaut. Sebagaimana dijelaskan, saat itu beliau tidak langsung tinggal di Syibam dan Tarim, sebagai dua kota besar di Hadhramaut. Beliau tinggal di Hajrain dan berpindah-pindah hingga Husayyisah, alias tidak langsung ke pusat kota, menurut pendapat ini, karena mereka masih menyembunyikan paham Syi’ah-nya dan “menunggu waktu” yang tepat untuk menampakkannya.

    BERSAMBUNG KE-3

    BalasHapus
  4. 3)
    Disebutkan dalam kitab al-Fikru wa al-Mujtama’ fi Hadhramaut (hal 174), “Masa ‘uzlah bagi Bani Alawi di Bait Jubair adalah masa mereka berpegang teguh dengan pemikiran Syi’ah Imamiyah, yakni pemikiran imam-imam Bani Alawi itu. Dan masa indimaj (berbaur dengan penduduk lain) adalah masa mereka mau mengakui otoritas pemahaman Sunni dan madzhab Syafi’i.”

    Kemudian disebutkan pada halaman 187, “Setelah selama sekitar 100 tahun mereka ‘uzlah dan mencoba berbagai kemungkinan, keturunan al-Muhajir menyadari, tidak ada cara lain bagi mereka kecuali mengikuti pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah dan Madzhab Imam Syafi’i yang berlaku di Hadhramaut, serta berbaur dalam masyarakat Sunni di Tarim pada tahun 521 H.”

    Pendapat di atas menyebut al-Imam al-Muhajir dan keturunannya pada mulanya adalah penganut Syi’ah, dan mereka bersembunyi selama 100 tahun lamanya untuk menyembunyikan identitasnya itu. Pertanyannya, bila benar beliau penganut Syi’ah Imamiyah, dan kehijrahannya ke Hadhramaut didorong oleh niat untuk menyebarkan paham tersebut di sana, potensi apakah yang tidak beliau miliki?

    Al-Imam Ahmad bin Isa adalah orang alim yang memiliki banyak pengikut setia, kaya raya, dan menjadi pimpinan bagi keluarga Ahlul Bait, yakni al-‘Uraidhiyah. Ia juga seorang cucu seorang Naqib di Bashrah. Bahkan saudara beliau, yakni Imam Muhammad bin Isa, telah menguasai beberapa wilayah di Irak, dan kondisi tetap demikian, hingga beliau meninggalkan semua itu karena lebih mengutamakan kehidupan akhirat.

    Seandainya madzhab Imam Ahmad al-Muhajir bukan Sunni, maka beliau akan berusaha memperluas pengaruh politiknya, bahkan tidak menutup kemungkinan, kepentingan politis itu akan berubah menjadi kepentingan penyebaran akidah Syi’ah di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan. Namun, al-Imam al-Muhajir tidak memanfaatkan potensi itu untuk menyebarkan akidahnya. Bahkan beliau sendiri yang “membunuh” potensi itu dengan memerintahkan saudaranya yang banyak menguasai banyak wilayah, untuk meninggalkan dunia demi kehidupan akhirat.

    Para sejarawan banyak mengisahkan perlawanan al-Imam al-Muhajir terhadap kaum Khawarij Ibadhiyah di Hadhramaut. Beliau berhasil dalam misi itu, padahal mereka adalah penguasa di Hadhramaut. Namun mengapa, bila kaum Sunni yang ada di Tarim dan Syibam diposisikan sebagai “lawan” bagi sang imam, beliau tidak mampu “mengatasinya”, padahal mereka tidak memiliki kekuatan dan otoritas seperti yang dimiliki kaum Ibadhiyah?

    Pertanyaan-pertanyaan semacam ini “mematahkan” analisa bahwa al-Imam al-Muhajir adalah seorang imamy. Beliau tidak memasuki Tarim dan Syibam bukan karena menunggu waktu sampai memungkinkan bagi mereka untuk berbaur bersama penduduknya yang Sunni. Bahkan, bahasa yang digunakan dalam tuduhan itupun tidak tepat. Bagaimana bisa dikatakan al-Imam al-Muhajir dan keturunannya ber-’uzlah, dalam arti bersembunyi, karena tidak mampu berbaur dengan penduduk Tarim dan Syibam? Al-Imam al-Muhajir dan keturunannya tidak bersembunyi. Bahkan sebaliknya, mereka berdakwah dengan harta dan jiwa menghadapi paham Khawarij yang berkembang di Hadhramaut.

    BERSAMBUNG KE-4

    BalasHapus
  5. 4)
    Hal lain yang mendalilkan bahwa al-Imam al-Muhajir bukan seorang Syi’ah, bahkan beliau adalah orang yang pertama kali memasukkan paham Sunni Syafi’i di Hadhramaut adalah bahwa sejarah tidak menyebutkan nama seorang ulama di zaman itu, kecuali al-Imam al-Muhajir dan keturunannya. Kondisi ini terus berlangsung hingga abad ke-5 hijriyah, yakni dengan munculnya seorang ulama dari selain keturunan beliau, Abul Makarim al-Khatib.

    Ulama yang menegaskan hal tersebut adalah Sayyid Abdullah Bilfaqih dalam kitabnya Bahtsun fi al-Tarikh al-Mu’ashir li al-Hayah al-Tsaqafiyah wa al-Madzhabiyah bi Hadhramaut Qubail wa Mundzu Qudum al-Muhajir (Penelitian tentang Sejarah Modern dalam Kehidupan Budaya dan Madzhab di Hadhramaut, Sebelum dan Sejak Datangnya al-Muhajir). Kitab yang masih berbentuk manuskrip ini membantah pendapat yang termaktub dalam Shafahat min al-Tarikh al-Hadhrami, karya Abu Wazir.

    Dalam bukunya itu, Abu Wazir menyebutkan tentang keberadaan Madzhab Syafi’i di Hadhramaut sebelum kedatangan al-Muhajir. Kitab Sayyid Abdullah Bilfaqih juga membantah analisa dalam kitab Janni al-Syamarikh karya al-Haddad yang sependapat dengan Abu Wazir. Namun Sayyid Abdullah Bilfaqih memiliki pendapat lebih kuat, karena beliau menukil pendapat para sejarawan dari kitab Anba’ al-Zaman fi Akhbar al-Yaman, sekaligus pendapat Abu Hauqal melalui Ibnu Khaldun. Melalui pendapat Ibnu Khaldun yang juga keturunan Hadhramaut itu, dapat ditegaskan bahwa al-Imam al-Muhajir adalah ulama yang memasukkan dan menyebarkan madzhab Sunni Syafi’i di Hadhramaut. (Alwi bin Muhammad bin Ahmad Bilfaqih, Min A’qabi al-Budh’ah al-Muhammadiyah al-Thahirah, h. 139.)

    Wallahu a’lam.

    Oleh: Ustaz Faris Khoirul Anam

    Aswaja NU Center Jawa Timur

    http://www.laduni.id/post/read/53030/imam-ahmad-bin-isa-al-muhajir-bukan-penganut-syiah

    BalasHapus
  6. Imam al-Muhajir & Ahlu Sunnah
    #1
    Selama perjalanan al-Imam al-Muhajir di Hadramaut meletakkan dasar-dasar manhaj yang memberikan keseimbangan antara kekuatan pergulatan pemikiran dengan kemampuannya berhujjah serta memberi keterangan untuk meredam suara-suara ahli bid’ah yang mengikuti hawa nafsu, selanjutnya bagian ini akan membicarakan kejelasan tentang buku-buku sejarah yang membahas tentang kokoh dan tersebarnya manhaj sunni melalui usaha para pemimpin ahlul bait nabi saw.
    Ketika al-Muhajir datang ke Hadramaut, di sana telah terdapat banyak aliran-aliran keagamaan dan para ahlinya yang saling mengeluarkan pendapat di antara sesamanya. Mereka ikut serta dalam perang dan perselisihan pemikiran antara keluarga-keluarga suku quraisy, akan tetapi semuanya berjalan untuk menghidupkan ajaran Islam berdasarkan manhaj ahlu sunnah.
    Saat itu di Hadramaut telah terdapat beberapa ulama besar ahlu sunnah seperti Syaikh Yahya bin Abdul Adzim dari keluarga Abi Hatim, dan Syaikh Mu’ammar Ahmad al-Hasib al-Alim al-Syahir, dan ulama – ulama dari keluarga al-Khotib, keluarga Abi Fadhol dan yang lainnya.
    Pertama kali madzhab yang masuk di Hadramaut adalah madzhab Hanafi dan Syafii, ini berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya di Hajrain telah terdapat dua orang mufti, mufti dari madzhab Hanafi dan mufti dari madzhab Syafii. Dan ini melahirkan berbagai pendapat yang menyatakan bahwa kebiasaan sebagian besar masyarakat di sana mengerjakan sesuatu berdasarkan manhaj ahlu sunnah.”
    Sayid al-Syatri dalam kitabnya al-Adwar halaman 153, menulis :
    “Di sana telah ada golongan sunni, dan tidak pernah didengar adanya golongan lain seperti Syi’ah, jika memang benar mereka berada di sana. Di sana terdapat juga sedikit dari golongan Ibadhiah. Dan golongan sunni di sana terdiri dari para ulama besar dan pemimpin yang terkenal.”[1]
    Dengan usahanya, al-Muhajir telah memperoleh hasil dengan menyebarkan paham ahlu sunnah di salah satu tangannya dan memberi gambaran tentang manhaj ahlul bait ke depan di tangannya yang lain, dan menjadikan mereka sebagai suatu kaum yang baru di Hadramaut.
    Berkata al-Syatri dalam kitabnya al-Adwar mengenai kaum Ibadhiyah dan al-Muhajir :
    “Sesungguhnya al-Muhajir bersama kaum Ibadhiyah beramal dengan berdasarkan thariqah yang lurus, maka menyebarlah di Hadramaut madzhab sunni melalui anak-anaknya, para pengikutnya dan orang-orang yang datang kemudian.”[2]
    Benar atau tidaknya keberadaan madzhab al-Imam al-Syafii pada zaman itu[3], sesungguhnya telah terjawab dengan usaha al-Muhajir membangun madrasah yang dipersiapkan untuk menumbuhkan dan menyebarkan madzhab al-Imam al-Syafii dalam masalah fiqih dan madzhab al-asy’ari dalam ilmu-ilmu aqidah. Dalam kitabnya al-Adwar halaman 161, al-Syatri menulis :“Al-Muhajir dengan kemampuan ilmu dan keberaniannya mampu menyebarkan madzhab al-Syafii al-Sunni di Hadramaut sehingga akhirnya setahap demi setahap dapat menempati tempat madzhab Ibadhiyah sesuai dengan proses perkembangan madzhab. Dengan keutamaan al-Muhajir dan murid-muridnya dari kalangan ahlu sunnah maka berubahlah tanah Hadramaut menjadi negeri al-Syafii al-Sunni. Dan sebelum berakhirnya kurun ke tujuh, madzhab Ibadhy telah lenyap sama sekali dari Hadramaut dan merata madzhab sunni di sana.”
    Setelah itu cucu beliau al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Mirbath meneruskan perjuangan kakeknya dalam menyebarluaskan madzhab Syafii. Menurut pandangan Sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri :
    “Sesungguhnya madzhab ahlu sunnah tidak berbeda dengan aqidah para pemimpin keluarga Nabi saw, hal ini menguatkan pendapat yang lalu bahwa sesungguhnya para pemimpin keluarga Nabi saw dimana saja ia berada, dan apa saja madzhab yang dianutnya dalam Islam terkumpul atasnya imamah seperti martabat dan maqam ijtihadi.” [4]

    BERSAMBUNG KE #2

    BalasHapus
  7. #2
    Selanjutnya berkata al-Syatri : “Jika demikian tidak ada pertentangan antara pemimpin ahlul bait yang terdahulu dengan aqidah ahlu sunnah seperti yang dijelaskan dalam kitab yang terpercaya, kecuali dalam masalah-masalah tertentu. Dalam syair-syair Imam Syafi’i di dapati bahwa beliau adalah seorang yang mempunyai paham cinta yang lurus kepada ahlul bait, dan hal tersebut tidak mengeluarkannya dari paham ahlu sunnah, hal ini menjelaskan bahwa Imam Ahmad al-Muhajir bermadzhab Syafi’i sebagaimana ia melihat madzhab ayah dan kakeknya.”[5] Mengenai kesunnian al-Muhajir, al-Syatri berkata :
    “Beberapa ahli sejarah zaman ini telah memberitahu saya bahwa al-Muhajir bermadzhab Imamiyah, akan tetapi semua rujukan tentang hal tersebut tidak mendukung dan tidak memberi kekuatan terhadap dasar rujukan tersebut. Apalagi disebutkan bahwa Ubaidillah bin al-Muhajir berguru kepada seorang tokoh ahlu sunnah yang bernama Abu Thalib al-Makki. Hal ini menghapus pendapat awal yang menyatakan bahwa al-Muhajir bermadzhab Imamiyah.”
    Faidah yang didapat dari penjelasan ini cukup menjadi rujukan bahwa anak keturunan al-Muhajir yang tinggal di Wadi Hadramaut telah sepakat menyebarkan madzhab ahlu sunnah dengan cara belajar maupun mengajarkannya kepada pihak lain, ini dapat disaksikan melalui kitab-kitab, murid-murid, dan sumber-sumber lain yang mulia hingga hari ini.

    [1] Dari keturunan al-Muhajir di antaranya al-Imam Muhammad Shahib Mirbath (wafat th.556 H), al-Imam Salim bin Basri (wafat th.604 H), dan ulama lainnya seperti Syaikh Salim bin Fadhol Bafadhol (wafat th. 581 H).
    [2]Dalam tulisan beberapa ulama Hadramaut isinya membahas masalah tersebut, di antaranya Sayid al-Allamah Abdullah Bilfaqih dengan risalahnya berjudul Bahtsu fi al-Tarikh al-Muashir li al-Hayat al-Tsaqafiyah fi Ashri al-Imam al-Muhajir dan risalah Sayid al-Allamah Alwi bin Thahir dengan judul Jana Samarikh.
    [3] Hal itu berdasarkan pendapat yang berkata bahwa sesungguhnya madzhab Syafii telah ada sebelum kedatangan al-Muhajir.
    [4] Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas pernah ditanya berkenaan dengan do’a Imam Ali Zainal Abidin : Ya Allah kuatkanlah agama-Mu setiap saat dengan keberadaan Imam yang telah Engkau angkat untuk beribadah kepada-Mu. Maka al-Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas menjawab : Yang dimaksud dengan Imam pada kalimat doa tersebut adalah Imamah ahlul bait, yang telah diisyaratkan kepadanya dengan perkataan Imam al-Haddad : “Imam adalah dari kami, hingga tiba waktunya kiamat, keluarlah dia.” Hal tersebut merupakan martabat kepemimpinan khusus yang diwariskan kepada ahlul bait hingga munculnya al-Mahdi. Dan ketika Imam al-Haddad berada di Makkah dan ditanya tentang madzhabnya beliau memberi isyarat kepada ijtihad.

    BERSMBUNG KE #3

    BalasHapus
  8. #3
    [5] Berkata Al-Allamah Abubakar Bin Syahab dalam kitabnya Rasfah al-Shadi Min Bahri Fadhail Bani al-Nabi al-Hadi hal 106 :
    Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani di awal maqalahnya mengenai kefanatikan pribadi terhadap leluhurnya yang biasa terjadi pada manusia, beliau berkata : Di antara golongan sunni yang mulia, yang telah dinukil pada maqalah ini dan lainnya, baik dalam bentuk syair maupun sanjungan, kapan dan dimanapun mereka, sejarah telah berkata dan menjelaskan bahwa mereka kaum sunni yang mulia dan pemimpin ummat Muhammad mereka adalah ahlul bait yang suci, mulia dan terhormat. Mereka pemimpin yang membawa petunjuk melalui cahaya mereka di setiap zaman, dan jejak mereka merupakan pedoman di setiap waktu. Sebagaimana syair yang ditulis oleh al-Kumait al-Asaddi : ‘Dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengoreksi pintu kesalahan manusia, seakan mereka berfungsi seperti kaidah-kaidah agama Islam‘ Bagaimana mungkin suatu hukum dibuat bertentangan dengan sunnah yang masing-masing mempunyai kedudukan yang agung dan Rasulullah saw telah menjadikan keduanya sebagai hujjah. Dan kami telah mendapatkan khabar bahwa sesungguhnya berpegang kepada keduanya tidak akan tersesat, barang siapa yang mendahului atau meninggalkan keduanya akan binasa. Dan diperintahkan kepada kami untuk menimba ilmu dari mereka serta tidak mengajari mereka, bagi mereka yang bertentangan dengan mereka termasuk kepada golongan iblis. Sesungguhnya mereka tidak akan memasuki pintu kesesatan dan tidak akan keluar dari pintu hidayah, Allah swt memberikan hikmah kepada mereka. Sesungguhnya kebenaran telah ditolong dengan apa yang dijelaskan dan dikatakannya, dan jalan yang lurus yang telah ditempuhnya. Dan mengenai golongan syarif yang bukan sunni, beliau berkata : Itu merupakan suatu kebatilan yang besar. Dan banyak di antara keluarga yang disucikan ini beraqidah sunni, seperti al-Saadah al-Alawiyah al-Husainiyin di Hadramaut, Jawa dan Hindi, Syarif Bani Qatadah al-Husainiyin di Hijaz, Saadah al-Rifaiyah al-Husaiyin di Syam dan Iraq, Saadah al-Jailaniyah al-Husainiyin di Iraq dan Hindi, Saadah al-Ahdaliyah di Yaman, Saadah al-Idrisiyah di Maghrib, dan keluarga lainnya yang tersebar di seluruh dunia.

    Mereka ialah para pemikir ahlu sunnah wal jamaah dan hanya sedikit dari mereka yang mempunyai pandangan tentang sahabat berdasarkan ajaran syiah, mereka berada di Yaman, Teheran, India dan Iraq. Semoga Allah memberi taufiq kepada mereka menuju kebenaran.

    https://benmashoor.wordpress.com/2008/07/26/imam-al-muhajir-ahlu-sunnah/

    BalasHapus
  9. MAZHAB IMAM AL MUHAJIR :

    #1
    Sebagian ulama Hadramaut telah menyusun risalah khusus yang menerangkan tentang madzhab al-Muhajir, diantara kitab yang berisi persoalan tersebut pada zaman terakhir ini ialah yang ditulis oleh seorang sejarawan al-Allamah al-Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Seqqaf dengan judul kitabnya Nasim Hajir. Dalam bukunya tersebut dijelaskan bahwa Imam Ahmad al-Muhajir bermadzhab Imamiyah, dengan makna imamah secara batin yaitu imamah berdasarkan maqam quthbaniyah yang diwariskan dari ahlul bait khususnya Imam Ali bin Abi Thalib. Imam al-Muhajir dan kakek-kakeknya khususnya Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunannya membuang jauh-jauh dari perilaku mencaci sahabat, taqiyah dan lainnya dimana hal-hal tersebut digolongkan sebagai pekerjaan kaum Rawafidh, hal itu dibuktikan dengan alasan yang kuat dan maksud-maksud yang disampaikan dalam mendukung alasan tersebut. Begitu pula dukungan dari berbagai penyaksian yang banyak dinukil dari kitab-kitab al-Imam Yahya bin Hamzah pengarang kitab yang mengemukakan dalil pembelaan terhadap para sahabat.

    Dalam tulisannya, Sayid Abdurahman bin Ubaidillah al-Saqqaf tidak mengkaji secara terperinci pasal demi pasal pendapat-pendapat lainnya dalam masalah tersebut, akan tetapi beliau menulis dalam muqadimah risalahnya yang mengatakan bahwa al-Muhajir bermadzhab Syafii, tulisan tersebut berbunyi, ‘Al-Muhajir menjauhkan diri dari bertaqlid kepada Syafi’i’. Suatu pendapat yang menyatakan al-Muhajir adalah seorang Syafi’iyah, tapi tidak mengikutinya secara taklid buta.

    Sayyid Alwi bin Thahir, mufti Johor, dalam risalahnya yang berjudul Itsmid al-Bashoir bil Bahtsi fi Madzhab al-Imam al-Muhajir mengeluarkan pendapat atas ketidakjelasan petunjuk yang ditulis oleh Ibnu Ubaidillah tentang keimamiyahan al-Muhajir, dengan tidak adanya kajian lebih lanjut dalam kitab Nasim Hajir, dan hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari para muridnya mengenai pandangan Ibnu Ubaidillah, menjelaskan bahwa makna sebenarnya dari perkataan imamah tersebut adalah suatu madzhab yang mengharuskan untuk membuang jauh-jauh dari perilaku mencaci sahabat, taqiyah dan lainnya.[1]

    Untuk menguatkan pendapat tersebut, maka ditulislah suatu risalah yang disusun berdasarkan petunjuk atas keimamahan al-Imam Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Masra’, dan menjelaskan pendapat itu berdasarkan berbagai riwayat dan rujukan yang dinukil, kemudian tulisan berpindah menerangkan kitab Quut al-Qulub dan Abi Thalib al-Makki serta bergurunya Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dengan membaca dan menelaah kitab tersebut kepada Abi Thalib al-Makki di Hijaz.

    Menyusul kitab Nasim Hajir yang ditulisnya, Sayid Abdurahman bin Ubaidillah al-Saqqaf menekankan kembali makna imamiyah yang terdapat dalam kitab pertamanya tersebut melalui tulisan keduanya yang diberi judul Samum Najir, dengan tidak adanya kajian dalam kitab al-Itsmid seperti juga yang disebutkan di awal, beliau menulis bahwa makna yang dimaksud dari kata imamah yang diwariskan oleh para ahlil bait adalah ‘maqam ruh al-qutbaniyah’.

    Pada baris terakhir dari kitab Samum Najir, Ibnu Ubaidillah berkata, ‘Jika kembali kepada masalah itu (imamah yang mempunyai makna al-qutbaniyah), saudara kami yang yang memiliki kepemimpinan yang lurus di Tarim Sayid Alwi bin Syihabbuddin berkata kepadaku : Jika makna (al-quthbaniyah) itu telah disepakati, maka tidak perlu lagi kita mengarang (untuk menentang) hal tersebut’.

    Kemudian Al-Allamah Abdullah bin Hasan Bilfaqih mengarang suatu kitab yang berjudul Subhu al-Diyajir Fi Tarikh al-Imam al-Muhajir. Dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan bahwa sesungguhnya madzhab al-Imam al-Muhajir adalah madzhab Syafi’i.

    BERSAMBUNG KE #2

    BalasHapus
  10. #2
    Sayid Soleh bin Ali al-Hamid bertanya tentang masalah keimamiyahan al-Muhajir kepada Sayid Alwi bin Thohir al-Haddad, maka beliau menjawab dengan panjang lebar dalam risalahnya yang berjudul Jana Samarikh min Jawab Asilah fi al-Tarikh yang ditulis dengan dipenuhi oleh dalil-dalil yang menolak perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat yang bathil atas keimamiyahan al-Muhajir[2],
    dan selanjutnya beliau berpendapat bahwa, ‘Keimamiyahan al-Muhajir adalah Imamiyah ayah dan kakek-kakeknya dari pemimpin ahlul bait yang benar’. Sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya al-Adwar, berkata :

    Yang jelas madzhab Imam al-Muhajir adalah madzhab Imam Syafi’i al-Sunni, sebagaimana yang dijelaskan pada beberapa sumber. Juga telah dimaklumi bahwa meskipun dia mengikuti madzhab Imam Syafii, dia tidak mengikutinya dengan buta. Imam al-Muhajir sangat jauh dari sikap seperti ini. Bagaimana dia harus bersikap taklid buta kepada Imam Syafii, sedangkan di hadapannya ada alquran dan hadits, yang menjadi sumber utama madzhab Syafii. Demikian juga aqidah Islamnya sebagaimana aqidah moyangnya, seperti al-Baqir, dan Zain al-Abidin karena tidak ada pertentangan antara aqidah Ahlul-bait yang lama dan Ahlu Sunnah, kecuali dalam masalah-masalah tertentu.[3]

    Sayid Muhammad bin Ahmad al-Syatri berpandangan bahwa pendapat itu menyatakan sesungguhnya al-Imam Muhajir adalah seorang mujtahid bukan muqalid. Dan disebutkan juga kumpulan pendapat penting yang mengharuskan pembaca untuk meneliti maksud dari pendapat-pendapat tersebut, sehingga memberikan kesimpulan seperti yang ditulis oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya al-Muhajir :

    Banyak disebut dalam kitab-kitab Hadramaut sesungguhnya madzhab al-Imam al-Muhajir adalah madzhab kakek-kakeknya yang beliau pelajari sampai kepada Rasulullah saw. Sama halnya dengan thariqah Alawiyin diperoleh dari ayah-ayah mereka dari awal hingga akhir, para ulama selalu memelihara dan menyambungkan silsilah tersebut kepada Imam al-Muhajir, ayah dan kakeknya sampai kepada Imam Ali bin Abi Thalib.[4]

    Al-Muhajir belajar kepada ayahnya Isa yang dikenal dengan sebutan al-Amri dikarenakan beliau adalah seorang naqib, beliau adalah seorang pemimpin kaum Alawiyin di masanya yang digelari dengan al-Rumi. Isa al-Rumi belajar kepada ayahnya Muhammad al-Naqib, Muhammad al-Naqib belajar kepada ayahnya Ali al-Uraidhi di Madinah. Beliau adalah seorang pemimpin Syarif Alawiyin dan Syekh Bani Hasyim di Uraidhi. Ali al-Uraidhi belajar kepada ayahnya Ja’far al-Shadiq dan saudaranya Musa al-Kadzim dan anak saudaranya Ali Ridho dan Muhammad al-Jawwad.

    Muhammad Dhiya’ Syahab menukil perkataan sayid Alwi bin Thohir al-Haddad dalam majalah al-Rabithah, ‘Sesungguhnya mereka mengikuti perjalanan para pendahulunya, mereka hanya tinggal sebentar hingga tersebar madzhab dan kecenderungan umat Islam untuk memegang kepada madzhab yang khusus, maka mereka memilih madzhab al-Imam al-Syafii, dan itu setelah tahun 500 hijriyah’. Sayid Alwi bin Thohir al-Haddad berkata :

    Sesungguhnya madzhab Syafi’i telah ada di Yaman tetapi hanya dalam jumlah kecil, sebagaimana dikutip dari al-Sakhawi dari al-Janadi bahwa madzhab Syafi’i telah tersebar di Yaman pada akhir tahun 300 hijriyah, dan di Yaman saat itu terdapat madzhab Hanafiyah, sebagian besar madzhab Zaidiyah dan madzhab Usmaniyyah di Hadramaut, madzhab Usmaniyah mereka adalah kaum Nawashib, dan madzhab Ismailiyah yang berada di gunung-gunung, serta kelompok-kelompok kecil’.[5]

    Sedangkan aqidah Imam Ahmad al-Muhajir yaitu aqidah ahlul bait dari jalur ayah dan kakeknya. Dan setelah masa Imam al-Muhajir tidak dikenal manhaj Ahlu Sunnah kecuali aqidah Imam al-Asy’ari. Aqidah al-Asy’ari masuk setelahnya, di awal abad keempat hijriyah dan tidak tersebar madzhabnya itu di Iraq kecuali pada tahun 380 hijriyah.

    BERSAMBUNG KE #3

    BalasHapus
  11. #3
    Dari penelitian terhadap tulisan-tulisan yang lampau diperoleh kesimpulan yang kuat bahwa madzhab al-Imam al-Muhajir adalah madzhab ayah dan kakeknya yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah saw, sedangkan madzhab Syafii banyak dianut pada masa-masa akhir dengan ikhtiar dan ijtihad para pemimpin ahlul bait. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan penelitian sesungguhnya al-Muhajir adalah seorang mujtahid, yang berijtihad terhadap amalan madzhab Syafii bukan taklid. Sayid Alwi bin Thohir menulis :

    Sesungguhnya al-Imam al-Muhajir dan anaknya tidak menjauhi tasawuf, karena beliau keduanya adalah seorang sufi, karena ahli sufi dan ahli ibadah banyak terdapat di Basrah lebih banyak dari yang lainnya, seperti Abu al-Hasan bin Salim al-Zahid, dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Salim al-zahid al-Bashri, salah seorang pembesar dari golongan Bani Salim, beliau mempunyai ahwal dan tekun dalam bermujahadah, kepadanya berguru al-Ustadz Abu Thalib al-Makki dan dia adalah teman terakhir dari Sahal al-Tusturi yang wafat pada tahun 360 hijriyah.[6]

    Muhammad Dhiya’ Syahab dalam kitabnya al-Muhajir menukil pendapat Sayid Alwi bin Thohir al-Haddad, berkata : Sesungguhnya di Basrah hidup para sufi dan ahli ibadah yang terkenal, dan disana banyak pula para salaf ahli sufi, di mana warna sufi mereka berlainan dengan perkiraan kita saat ini, sufi tersebut melatih dirinya untuk mengerjakan amal dan mengkaji ilmu serta berprilaku dengan akhlaq yang baik, memperkuat keyakinan dengan kebenaran iman, mendisplinkan diri pada perkara ibadah, itulah tasawuf yang tidak dimasuki oleh kelompok-kelompok lain dan cara-caranya.

    Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf seperti suluk dan akhlaq telah mulai timbul bersamaan dengan zaman al-Imam al-Muhajir, kemudian anak-anak dan cucu-cucunya, dan tersebarnya tasawuf seperti cara-cara dan thariqahnya baru di kemudian hari melalui usaha al-Ustadz al-A’dzam al-Faqih Muqaddam pada abad ke enam.

    Sayid Abubakar al-Adeni bin Ali al-Masyhur dalam kitabnya al-Abniyat al-Fikriyah menulis : Jika al-Imam al-Muhajir datang ke negeri Hadramaut dari Iraq membawa madzhab berdasarkan pandangannya sendiri, maka penduduk setempat tidak akan dengan cepat menerima pandangan-pandangan tersebut. Madrasah dan manhaj yang ditumbuhsuburkan oleh al-Muhajir di seluruh dunia berdasarkan jalan damai dalam menyelesaikan segala bentuk perbedaan pandangan.

    Dengan dasar keyakinan, kita dapat melihat bahwa al-Imam al-Muhajir menanamkan manhaj al-Nubuwwah al-Muhammadiyah, melayani dunia Islam berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dalam menjalankan ajaran Rasulullah saw yang tumbuh pada setiap kelompok madzhab. Inilah pengertian al-Imamah menurut madrasah bani Alawi yang tidak memerlukan penetapan hujjah baik dalam bentuk nash maupun pendapat-pendapat lisan, dengan sikap yang jauh dari kesewenang-wenangan al-Muhajir berhasil membangun madrasah Bani Alawi di Hadramaut yang terukir baik secara nyata dan tersembunyi pada hati masyarakat setempat, anak-anaknya dan keturunannya yang jauh dari sikap taqiyah, permasalahan inilah yang terputus sejak dahulu, sehingga saat itu Hadramaut telah dipenuhi oleh kecenderungan berpikir kepada paham imamah yang murni yaitu imamah al-Mustofa saw sebagai dasar membangun asas-asas syariah dan adab-adabnya, paham imamah inilah yang dilahirkan kembali oleh al-Imam al-Muhajir melalui perantaraan ilmu, amal dan akhlaq kenabiannya, jauh dari sikap ashobiyah madzhab. Terpeliharaannya keamanan dan ketenangan di semua tempat dan waktu di Hadramaut, semuanya disebabkan manhaj Islam dan kepemimpinan al-Muhajir.

    [1]Abubakar al-Adeni bin Ali al-Masyhur, Op Cit, hal. 79.

    [2] Yang dimaksud adalah Imamiyah yang terdapat dalam madzhab Syiah.

    [3]Muhammad bin Ahmad al-Syatri. Op Cit, hal. 160.

    [4]Muhammad Dhiya’ Syahab & Abdullah bin Nuh. Op Cit, hal. 8.

    [5] Abubakar al-Adeni bin Ali al-Masyhur. Op Cit, hal. 83.

    [6] Ibid, hal. 84

    https://benmashoor.wordpress.com/2008/08/01/madzhab-imam-al-muhajir/

    BalasHapus