Senin, 11 Juni 2012

kiai kampung lawan jama'ah usroh


Kiai Kampung Lawan Jama’ah Usroh

Kisah ini menimpa keluarga tokoh NU yang meninggal dunia. Namun diantara keluarganya, yaitu keponakannya adalah seorang terpelajar di Bandung. Maklum, sejak kecil anak tersebut sekolahnya selalu di sekolah umum dan belum mengenyam pendidikan madrasah apalagi pesantren. Ketika melanjutkan ke universitas, dia bergabung dengan komunitas kampus mengikuti usrah di masjid kampus, bahkan sempat menjadi aktivis salah satu partai Islam.
Dia mendapat pengetahuan agama dari ‘usrah-‘usrah di kampus. Entah mengapa dia terlalu PD dan tampil meyakinkan. Seolah-olah dia telah menguasai banyak hal tentang masalah keagamaan. Hal ini terlihat dengan sikap dan bicaranya di hadapan orang kampung dan keluarganya. Dia dengan yakin dan PD sering mem-bid’ah-kan dan menyesatkan orang-orang kampung, bahkan pada keluarganya yang sedang mendo’akan si mayit.
Menurutnya mendo’akan kepada orang mati itu tidak akan sampai dan hukumnya adalah bid’ah, haram, dan masuk neraka. Mendengar ucapan itu orang-orang kampung dan keluarganya menjadi masygul. Sambil berbisik-bisik orang kampung mengatakan: “Anak ini pelajar tetapi kok kurang ajar ya! Sudah diam saja tak usah ditanggapi,” ujar orang kampung yang lain.
“Ayo kita teruskan baca tahlil, ndak usah didengar,” sahut yang lain.
Setelah orang kampung selesai membaca tahlil dan do’a, anak muda aktivis kampus itu kemudian sambil berkata: “Apa yang dikerjakan oleh bapak-bapak sekalian itu sia-sia, bahkan berdosa karena mengamalkan bid’ah”.
Kemudian kiai yang memimpin tahlil dengan tenang menanggapi ucapan anak muda tadi dan berkata: “Hai mas, apa yang kami amalkan ini bukanlah tanpa dasar. Kemudian beliau menerangkan sebuah hadits. Dalam hadits itu dijelaskan bahwa pada suatu hari Nabi berjalan-jalan dengan para sahabat, tiba-tiba Nabi berhenti di sebuah maqbarah (komplek kuburan), Nabi menangis. Kemudian mendo’akan dan menancapkan pelepah kurma di atas kuburan tersebut.” Kiai melanjutkan perkataannya: “Nah, kalau pelepah kurma saja bisa mendo’akan, apalagi kita sebagai manusia,” ujar Kiai.
Selain itu, kata kiai, do’a yang dibaca ketika shalat jenazah (allahummaghfir lahuu warhamhuu wa’aafihii wa’fu ‘anhu) adalah do’a yang isinya mendo’akan yang mati agar mendapat ampunan. Jadi kalau tidak sampai, tidak mungkin Rasulullah SAW mengajarkan do’a itu.
Anak muda itu terlihat kaget. Kemudian dengan rasa bersalah menjawab, “Jadi ada dalilnya toh… dan Nabi juga melakukan serta memerintahkan membaca do’a dalam shalat jenazah?,” tanya anak muda itu. “Iya, kenyataannya seperti itu,” jawab kiai. Kemudian kiai itu menerangkan: “Jadi apa yang kami lakukan ada dasarnya, makanya jangan asal tuduh bid’ah,” tegas kiai.
“Tetapi ustadz saya berkali-kali menerangkan bahwa mendo’akan orang mati sebagaimana yang dilakukan orang kampung itu adalah sesat dan masuk neraka serta tidak ada haditsnya, tetapi kenyataannya ada haditsnya?,” tanya anak muda itu. Kemudian kiai menjawab: “…ya saya nggak ngerti ustadz adik itu benar-benar mengerti agama atau politisi yang menyamar jadi ustadz, makanya kalau belajar agama belajarlah pada yang mengerti jangan belajar agama pada politisi,” nasihat kiai pada anak muda itu. Anak itu terdiam dan akhirnya jama’ah bubar.
(Mukhlas Syarkun)

sumber: http://aziachmad.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar