Kiat Menghadapi GAM, GAT & GAB
Kiai Fahrur Razi Iskak didatangi
segerombolan berjenggot dan bercelana cingkrang. Mereka sengaja mendatangi Kiai
Razi, mau mengajak debat masalah khilafiyah, terutama tentang tahlil. Sang Kiai
lalu diberondong dengan sejumlah pertanyaan. “Kiai kok melakukan pekerjaan
bid’ah seperti melakukan tahlil. Padahal tahlil itu termasuk bid’ah dlolalah,
dan kiai tahu bahwa bid’ah dlolalah itu dalam hadits masuk neraka?,” ujar di
antara mereka.
Dasar Kiai Nahdliyin mendapat serangan
pertanyaan itu, tenang-tenang saja. Lalu dijawab dengan sembari ketawa,
sehingga suasana cair dan tidak tegang. Kiai lantas balik bertanya: “Tolong
tunjukkan dimana letak bid’ah-nya tahlil? Bukankah bacaan tahlil adalah bacaan
Al-Qur’an dan merupakan kalimat thoyyibah?,” Kiai lontarkan pertanyaan
ceplas-ceplos.
“Saya tahu bahwa bacaan tahlil adalah dari
Al-Qur’an dan kalimah thoyyibah, tetapi Nabi Muhammad kan tidak pernah
melakukan susunan bacaan seperti tahlil. Karena itulah, kami menyebut tahlil
bid’ah,” jawab kelompok itu.
Kiai pun tak kekurangan akal, dengan arif
dan bijaksana kembali melempar pertanyaan: Lho, kalau masalahnya terletak
karena Nabi tak pernah menyusun kalimat tahlil. Kalau begitu mushaf Al-Qur’an
yang anda baca adalah bid’ah juga dong. Karena susunan surat-surat dan
harokatnya tidak terjadi pada zaman Nabi. Mushaf Al-Qur’an kan disusun setelah
Nabi wafat. Bahkan titik pada huruf ba’ dan ya juga dilakukan para ulama,”
papar Kiai Razi. Mendengar hujjah Kiai Razi, mereka terdiam seribu bahasa.
Dengan bijaksana Kiai Razi menyarankan untuk lebih banyak belajar mengaji
kitab-kitab peninggalan ulama silam. Setelah mereka menerima secara logika,
lalu kemudian Kiai Razi memperkuat dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan
Hadits. Beliau menjelaskan bahwa bacaan tahlil tidak bid’ah dan sampai
pahalanya pada yang meninggal.
Dalil-Dalil Sampainya Pahala Buat Yang Meninggal
Pertama : Nabi bersabda, “Hajilah dulu
untuk dirimu, kemudian baru menghajikan Syubrumah”. (HR.Abu Daud). Hadist ini
menyatakan bahwa ibadah haji seseorang dapat digantikan orang lain, tentu
dengan pahalanya juga.
Kedua : Sebuah Hadits yang artinya,
“Dengan nama Allah ! Ya Allah terimalah kurbanku dari Muhammad, dari keluarga
Muhammad, dari umat Muhammad”. (HR.Muslim, lihat Shahih Muslim XIII, hal.122).
Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi berkurban yang pahalanya untuk beliau, dan
sebagian diberikan untuk keluarga beliau, dan sebagian diberikan untuk umat
beliau.
Ketiga : Hadits dari ‘Aisyah,
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW, dia
berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal secara tiba-tiba, andaikan dia
dapat bicara (pada saat sakratulmaut) niscaya ia akan bersedekah. Apakah ia
(ibuku) akan dapat pahala, jika saya bersedekah untuk menggantikannya? Jawab
Nabi: “Ya”. (HR.Imam Muslim, juz XI hal.84)
Ulama besar, Imam Nawawi menjelaskan
berdasarkan hadits tersebut, maka dibenarkan bersedekah yang pahalanya untuk
yang meninggal, bahkan ini termasuk yang dianjurkan.
Setelah menjelaskan hadits-hadits ini,
Kiai Razi pun bertanya kepada para pemuda bercelana cingkrang itu, “Bagaimana
dengan tiga dalil ini apakah belum cukup? Kalau merasa belum cukup, akan saya
teruskan sebab masih ada 15 lagi hadits yang intinya menghadiahkan pahala
kepada yang telah meninggal itu dibenarkan.
Para pemuda itu pun menjawab: “Sudah cukup
kiai. Kami baru mengerti kalau ada hadits tentang sampainya pahala untuk orang
yang sudah meninggal itu. Apalagi ternyata haditsnya banyak ya. Padahal yang
mempersoalkan hanya hafal satu dua hadits saja, itu pun diulang-ulang,” papar
anak muda itu sembari tersenyum. “Ya selama ini kami ikut kegiatan usrah dan
pengajian di kampus, ustadz kami tidak pernah membacakan hadits itu. Yang
dibaca tiap hari hadits tentang bid’ah melulu,” timpal pemuda lainnya dan
disambut dengan ketawa gerr.
(Mukhlas Syarkun)