Jumat, 09 November 2012

kiat menghadapi GAM , GAT & GAB


Kiat Menghadapi GAM, GAT & GAB

Kiai Fahrur Razi Iskak didatangi segerombolan berjenggot dan bercelana cingkrang. Mereka sengaja mendatangi Kiai Razi, mau mengajak debat masalah khilafiyah, terutama tentang tahlil. Sang Kiai lalu diberondong dengan sejumlah pertanyaan.  “Kiai kok melakukan pekerjaan bid’ah seperti melakukan tahlil. Padahal tahlil itu termasuk bid’ah dlolalah, dan kiai tahu bahwa bid’ah dlolalah itu dalam hadits masuk neraka?,” ujar di antara mereka.
Dasar Kiai Nahdliyin mendapat serangan pertanyaan itu, tenang-tenang saja. Lalu dijawab dengan sembari ketawa, sehingga suasana cair dan tidak tegang. Kiai lantas balik bertanya: “Tolong tunjukkan dimana letak bid’ah-nya tahlil? Bukankah bacaan tahlil adalah bacaan Al-Qur’an dan merupakan kalimat thoyyibah?,” Kiai lontarkan pertanyaan ceplas-ceplos.
“Saya tahu bahwa bacaan tahlil adalah dari Al-Qur’an dan kalimah thoyyibah, tetapi Nabi Muhammad kan tidak pernah melakukan susunan bacaan seperti tahlil. Karena itulah, kami menyebut tahlil bid’ah,” jawab kelompok itu.
Kiai pun tak kekurangan akal, dengan arif dan bijaksana kembali melempar pertanyaan: Lho, kalau masalahnya terletak karena Nabi tak pernah menyusun kalimat tahlil. Kalau begitu mushaf Al-Qur’an yang anda baca adalah bid’ah juga dong. Karena susunan surat-surat dan harokatnya tidak terjadi pada zaman Nabi. Mushaf Al-Qur’an kan disusun setelah Nabi wafat. Bahkan titik pada huruf ba’ dan ya juga dilakukan para ulama,” papar Kiai Razi. Mendengar hujjah Kiai Razi, mereka terdiam seribu bahasa. Dengan bijaksana Kiai Razi menyarankan untuk lebih banyak belajar mengaji kitab-kitab peninggalan ulama silam. Setelah mereka menerima secara logika, lalu kemudian Kiai Razi memperkuat dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Beliau menjelaskan bahwa bacaan tahlil tidak bid’ah dan sampai pahalanya pada yang meninggal.
Dalil-Dalil Sampainya Pahala Buat Yang Meninggal
Pertama : Nabi bersabda, “Hajilah dulu untuk dirimu, kemudian baru menghajikan Syubrumah”. (HR.Abu Daud). Hadist ini menyatakan bahwa ibadah haji seseorang dapat digantikan orang lain, tentu dengan pahalanya juga.
Kedua : Sebuah Hadits yang artinya, “Dengan nama Allah ! Ya Allah terimalah kurbanku dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dari umat Muhammad”. (HR.Muslim, lihat Shahih Muslim XIII, hal.122). Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi berkurban yang pahalanya untuk beliau, dan sebagian diberikan untuk keluarga beliau, dan sebagian diberikan untuk umat beliau.
Ketiga : Hadits dari ‘Aisyah, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW, dia berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal secara tiba-tiba, andaikan dia dapat bicara (pada saat sakratulmaut) niscaya ia akan bersedekah. Apakah ia (ibuku) akan dapat pahala, jika saya bersedekah untuk menggantikannya? Jawab Nabi: “Ya”. (HR.Imam Muslim, juz XI hal.84)
Ulama besar, Imam Nawawi menjelaskan berdasarkan hadits tersebut, maka dibenarkan bersedekah yang pahalanya untuk yang meninggal, bahkan ini termasuk yang dianjurkan.
Setelah menjelaskan hadits-hadits ini, Kiai Razi pun bertanya kepada para pemuda bercelana cingkrang itu, “Bagaimana dengan tiga dalil ini apakah belum cukup? Kalau merasa belum cukup, akan saya teruskan sebab masih ada 15 lagi hadits yang intinya menghadiahkan pahala kepada yang telah meninggal itu dibenarkan.
Para pemuda itu pun menjawab: “Sudah cukup kiai. Kami baru mengerti kalau ada hadits tentang sampainya pahala untuk orang yang sudah meninggal itu. Apalagi ternyata haditsnya banyak ya. Padahal yang mempersoalkan hanya hafal satu dua hadits saja, itu pun diulang-ulang,” papar anak muda itu sembari tersenyum. “Ya selama ini kami ikut kegiatan usrah dan pengajian di kampus, ustadz kami tidak pernah membacakan hadits itu. Yang dibaca tiap hari hadits tentang bid’ah melulu,” timpal pemuda lainnya dan disambut dengan ketawa gerr.
(Mukhlas Syarkun)

Sumber : http://aziachmad.wordpress.com