Rokaat Shalat Tarawih ?
Ini kisah di sebuah perumahan yang baru
saja membuat masjid, penduduk perumahan itu berbagai macam aliran dan golongan,
pada suatu hari rapat persiapan menghadapi Bulan Ramadhan, maka terjadilah
musyawarah dan perdebatan sengit ketika menyinggung soal tarawih.
Perdebatannya menyangkut masalah, apakah
shalat tarawih dilakukan 8 dan 3 witir atau 20 dan 3 witir? Maka salah satu
peserta rapat itu angkat tangan dan menyatakan bahwa kalau menurut Nabi, maka
tarawih dijalankan 8 rakaat dan 3 witir!, dengan 4 rakaat, 4 rakaat dan 3
witir. “Ini berdasarkan hadits bahwa Nabi shalat di malam Ramadhan dan selain
Bulan Ramadhan sebanyak 11 rakaat dengan 4 salam dan 4 salam dan 3 witir. Jadi
yang lain seperti shalat tarawih 8 yang dilakukan 2,2,2,2 dan 3 witir atau 20
rakaat dengan 2 rakaat salam adalah tidak mengikut Nabi jadi bid’ah dan bid’ah
itu masuk neraka !!!” pernyataan ini kontan menimbulkan reaksi keras.
Kemudian ada yang angkat tangan, saya
keberatan kalau selain 4,4 dan 3 adalah bid’ah, sebab selama ini 2,2,2,2 dan 3
witir sudah dilakukan oleh banyak masyarakat dan bahkan dosen-dosen dan
tokoh-tokoh Islam banyak yang menjalankan tarawih, jadi saya keberatan kalau
selain 4,4 dan 3 witir dikatakan bid’ah, saya justru usulkan 2,2,2,2 dan 3
witir 1 salam aja. Usul jama’ah.
Kemudian Pak RW yang kebetulan pimpinan
rapat melempar kepada floor. “Bagaimana apa kita laksanakan 8 rakaat dengan
2,2,2,2 dan 3 witir atau 4,4 dan 3 witir sebagaimana hadits tersebut, atau ada
pendapat lain?”
Kemudian ada salah satu yang usul :
“Begini, kalau di kampung saya 20 rakaat dan 3 witir, seperti juga di TV
(maksudnya siaran langsung tarawih yang pernah disiarkan RCTI dari Masjidil
Haram). Jadi saya usul 20 rakaat seperti di Masjidil Haram saja.
Kemudian Pak RW yang kebetulan memimpin
rapat menyatakan : “Apa ada pendapat lain?”. “Saya mohon izin untuk klarifikasi
pak?”. “Silahkan” jawab Pak RW. “Begini saya mau mempertanyakan hadits tersebut
sebagai hujjah (dalil) tarawih. Pertama : bahwa hadits tersebut tidak
menyebut istilah tarawih, mengapa kemudian diseret-seret menjadi hujjah (dalil)
shalat tarawih?, apa justru ini tidak bid’ah? Kedua : hadits tersebut
disebutkan dilakukan di Bulan Ramadhan dan di luar Bulan Ramadhan, jadi artinya
bukan shalat tarawih dong, tapi mengapa dijadikan landasan shalat tarawih. Jadi
itu shalat malam yang dilakukan oleh Nabi SAW yang dilakukan di Bulan Ramadhan
atau di bulan selain Ramadhan, sedangkan kita ini mau membahas tentang shalat
tarawih yang hanya dilakukan di Bulan Ramadhan jadi gak nyambung?”.
Suasana menjadi agak tegang karena telah
terjadi perdebatan sengit dan bahkan saling membid’ahkan. Salah satu jama’ah
kebetulan seorang Kiai jebolan pesantren berkomentar : “Begini ijinkan kami
sedikit cerita tentang sejak kapan shalat tarawih dilakukan?. Sebenarnya pada
jaman Nabi sampai Abu Bakar belum ada istilah shalat tarawih dan juga belum ada
shalat tarawih berjama’ah sebagaimana yang sekarang lazim dilakukan oleh Umat
Islam, baru pada zaman khalifah Umar bin Khattab karena didorong oleh semangat
Umat Islam menyambut bulan bulan suci yang penuh ampunan, maka diisilah dengan
ibadah-ibadah seperti shalat, sedekah baca al-Qur’an dan lain-lain. Ketika itu
Umat Islam setelah shalat isya’ masing-masing shalat sendri-sendiri dengan
rakaat yang juga berbeda-beda jumlahnya sesuai dengan kemampuan.
Melihat realita itu, maka Umar bin Khattab
mengambil inisiatif, kalau begitu kita shalat berjama’ah dan rakaatnya kita
tentukan 20 serta dilakukan secara berjama’ah dengan suasana yang santai
(tarawih). Keterangan ini ada dalam kitab shahih. Jadi shalat tarawih itu
shalat malam dan rakaatnya tidak ada batasan yang baku, sehingga pada masa
sahabat jumlahnya 20 rakaat, sedangkan pada jaman Umar bin Abdul Aziz jumlahnya
36 rakaat dan juga ada yang 40 rakaat. Artinya tergantung kemampuannya, tentu
siapa yang banyak rakaatnya dan khusu’ serta ikhlas, maka banyak pahalanya.
Jadi jangan mudah mengatakan bid’ah sebelum mengerti persoalannya secara
mendalam. “Oh… begitu to…,” jawab jama’ah serempak.
Kemudian kiai meneruskan penjelasannya, :
“Jadi, jelas kalau shalat tarawih 20 rakaat itu mengikuti ijma’ sahabat
sebagaimana di Masjidil Haram sampai sekarang, begitu juga shalat tarawih 36
rakaat mengikuti Umar bin Abdul Aziz. Cuma yang shalat tarawih 8 rakaat baik
4,4 atau yang 2,2,2,2 ini saya bingung, ikut siapa ya?, ngakunya ikut Nabi,
padahal tidak ada hadits yang jelas menerangkan jumlah rakaat shalat tarawih.
Namun demikian, juga tak jadi masalah jika itu diniatkan Qiyamul lail (shalat
malam) untuk ihya’ (menghidupkan) malam Bulan Ramadhan dan mengharap rahmat,
yang penting jangan membid’ahkan dan mengaku sok ngerti dan sok ngikut Nabi.
Hati-hati mengutarakan dalil jangan asal dengar, sebab bid’ah itu bisa masuk
neraka, masak gara-gara shalat tarawih 20 rakaat masuk neraka. Lha wong
yang gak tarawih saja tidak apa-apa,” tegas Kiai, yang kemudian disambut koor
jama’ah : “Setujuuu…!!!!!”.
(Mukhlas Syarkun)